Minggu, 24 November 2013

Warga Linggamas Tolak Keras Peternakan Babi

Filled under:

Masyarakat Purbalingga bagian selatan dan Banyumas bagian timur khususnya yang berada di sekitar jembatan Linggamas menolak keberadaan peternakan babi di wilayahnya. Reaksi masyarakat semakin intents dan terus membesar bak bola salju. Penolakan ini didasari atas kesadaran warga akibat terjadinya pencemaran lingkungan oleh limbah kotoran babi yang tidak dikelola secara benar. Selama ini warga merasa telah dibodohi dengan berbagai macam cara oleh pengusaha babi beserta kroni-kroninya.
  
Dibawah ini beberapa pendapat dan sikap masyarakat Purbalingga dan Banyumas yang berhasil dihimpun:

1.    Warga Kalianja dan Sokasada yang berlokasi di sekitar peternakan babi menanggapi permasalahan ini secara serius. Pada umumnya warga merasa terganggu dan kecewa dengan adanya peternakan babi di lingkungannya karena telah menimbulkan bau busuk sepanjang hari serta adanya kekhawatiran terhadap gangguan kesehatan yang disebabkan oleh limbah kotoran babi. Warga menjadi ragu menggunakan air di lingkungan kandang bahkan air sungai Klawing, mengingat limbah kotoran babi yang dibuang begitu saja tanpa memperhatikan ketentuan yang dipersyaratkan. Tuntutannya; peternakan babi hengkang dari lingkungannya. Silahkan di relokasi kemana, kami tidak melarang orang berusaha, yang penting tidak di wilayah sini. Kami ingin beribadah dengan tenang, tidak terganggu oleh rasa was-was dan keraguan; apakah air yang kami pergunakan untuk keperluan sehari-hari mencari nafkah dan mandi maupun berwudu tidak terkontaminasi najis kotoran babi? Kami juga takut terhadap penyebaran bibit penyakit (telur cacing pita dan parasit lainnya) yang berasal dari limbah kotoran babi tersebut yang tidak dikelola secara benar berdasarkan undang-undang lingkungan hidup beserta peraturan turunannya. Mengenai polusi udara, dari jarak yang jauh pun bau kotoran babi sangat menyengat, lebih-lebih yang tinggal di sekitarnya dipastikan lebih menderita. Kedepan, apabila jembatan Linggamas sudah selesai dan dapat digunakan, sebenarnya mereka akan berdagang makanan dan minuman. Ini sebagian kutipan dari pendapat mereka: “Kami sering berdiskusi dengan teman-teman pedagang makanan dari daerah tetangga, namun kami ditertawakan”. Katanya: “apakah makanan kamu akan laku?” Kami jawab: “bisa, karena lalu lintas pasti ramai dan menu makanannya enak, maka orang-orang akan mampir untuk membeli”. Teman kami tertawa ngakak sambil menyampaikan; bahwa kami “jangan berharap banyak, image orang luar sudah tertanam bahwa daerah sini basis babi, maka tak akan ada orang mau beli jualanmu”, katanya.

2.    Hampir keseluruhan takmir masjid yang dimintai pendapat menolak keras keberadaan peternakan babi di wilayahnya dan tidak akan mau berkompromi. Kalau dulu membiarkan peternakan babi berlangsung, karena keterbatasan pengetahuan dan belum tahu mudharatnya sehingga terlena. Kami sangat menyesal dengan keadaan ini dan akan memperbaiki kecerobohan dengan cara menolak secara gigih. Untuk menegakkan akidah; kami akan berusaha sampai titik darah penghabisan, karena ini jihad di jalan Alloh. Pegangannya adalah empat ayat utama dalam Al Quran tentang larangan babi. Kami taubatan natsuha.

3.    Lain lagi para tokoh masyarakat, elemen organisasi dan lembaga sosial masyarakat di kedua wilayah pada umumnya berpendapat sangat ekstrim; bahwa keberadaan peternakan babi merupakan kebijakan pimpinan daerah dan dinas terkaitnya yang tidak sensitif dan hantam kromo, karena dalam mengeluarkan izin hanya mempertimbangkan syarat normatif saja. Aspek kelestarian lingkungan dan permasalahan akidah sama sekali tidak menjadi pertimbangan utama. Ini fatal, karena apabila izin sudah keluar, pemohon izin dapat mem-PTUN-kan Pemda apabila surat izin tiba-tiba dicabut. Namun demikian sebenarnya apabila persyaratan administrasi perizinannya terdapat penyimpangan, misalnya; izin dari warga sekitar cara mengusahakannya dengan menyuap warga melalui pemberian sesuatu untuk maksud tersebut, tidak adanya penjelasan dan sosialisasi sistem pengelolaan limbah dan realisasinya menyimpang, atau adanya pemutar balikan fakta dukungan, maka persyaratan perizinan tidak terpenuhi. Sehingga izin yang telah dikeluarkan pada posisi “batal demi hukum” dan dapat dicabut karena bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Kita tidak akan membiarkan kejahatan terhadap lingkungan hidup terus berlangsung dan pelanggaran hukum pidana terjadi di depan mata kita.

4.    Ditinjau dari sisi kelayakan usaha. Lokasi kandang ternak babi ditempatkan di dekat sungai. Ini dapat diasumsikan bahwa sejak awal pengelola sudah berfikir mencari mudah dalam membuang limbah kotoran babi dengan biaya murah karena cukup digelontorkan ke sungai, maka urusan beres. Tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan, berapa banyak manusia di Daerah Aliran Sungai yang akan terkontaminasi limbah dan terkena dampak.

5.    Fakta di lapangan. Keberadaan peternakan babi ini di beckingi oleh oknum, dimana yang bersangkutan juga menjadikan pengusaha peternakan ini sebagai mesin uang (ATM berjalan) yang menguntungkan oknum tersebut secara pribadi. Seandainya peternakan ini ditutup atau direlokasi, otomatis pendapatan yang bersangkutan akan hilang. Pekerjaan menjadi becking memang cukup ringan dan menjajikan. Hanya perlu otot, pandai bicara membolak-balikan fakta dan persoalan, serta membuat opini publik. Bahwa peternakan babi yang ada masih wajar dan layak mendapat keleluasaan, dengan alasan tetangga di sekitar kandang juga ikut menikmati hadiah natura berupa mie instan dan hadiah kecil lainnya? Dalam hal dukungan, diindikasikan bahwa pernyataan warga yang dibuat bermaterai telah dimanipulasi seolah-olah warga selalu menyetujui dan tidak pernah menolak. Pada situasi tertentu oknum akan mengadu domba warga dengan pernyataan-pernyataan yang kontroversial. Bilamana ada titik api penolakan yang muncul, segera disusun counterdown. Akhir-akhir ini pengusaha peternakan babi terindikasi mendatangkan beberapa orang asing berbadan tegap, rambut gondrong dengan muka yang sangar untuk menjaga peternakannya. Rupanya cara ini digunakan untuk menakut-nakuti dan mengintimidasi warga melalui kekuatan premanisme.! Sampai segitunya..., tega benar mengancam warga dengan tekanan psikologis. Ini jelas-jelas akan meruntuhkan akidah umat. Nauzubillahiminzalik.

Sehubungan dengan berbagai persoalan yang timbul akibat adanya peternakan babi di wilayah Linggamas, khususnya di kedua lokasi tersebut di atas, kiranya semua lembaga dan dinas terkait dapat mengambil inisiatif untuk segera menyelesaikan semua permasalahan tanpa mengorbankan hak-hak warga untuk dapat hidup sehat dan melaksanakan ibadah dengan tenang. 

Harapan besar masyarakat Linggamas ialah; dengan ditetapkan dan dilantiknya Wakil Bupati Drs. H. Sukento Rido Marhaendrianto, MM menjadi Bupati Purbalingga dapat mengakomodir keinginan warganya untuk menutup peternakan babi di wilayah Purbalingga, sesuai dengan tag line:”Purbalingga yang Maju, Mandiri dan Berdaya Saing, menuju Masyarakat Sejahtera yang Berkeadilan dan Berakhlak Mulia”. Selamat bekerja Bapak Bupati Purbalingga yang baru, dan enyahlah peternakan babi...!

By Kang Wirya

Posted By RAMA WIRYA01.41

Jumat, 22 November 2013

Mencari Air dengan Teknologi Nuklir

Filled under:

Di mana ada BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) di situ ada air. Begitu kira-kira ungkapan yang melekat pada lembaga teknologi yang memfokuskan penelitian pada tenaga nuklir. Pasalnya BATAN dapat mencari sumber air dengan cara mendeteksinya dengan aliran radio isotop. Jika air tersebut berada tak begitu dalam dari permukaan tanah, pencarian bisa dilakukan dengan sebuah alat bernama tracer. Mirip seperti alat gegana pendeteksi bom, tracer pendeteksi air juga akan berbunyi nyaring dan cepat jika menemukan air.

Namun apabila air berada di kedalaman lebih dari 100 meter, radio isotop dilepaskan pada hulu air yang berada di gua, dan tracer kembali dilakukan. Di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada sebuah gua bernama Bribin, teknologi pencari air dari nuklir itu dilakukan. 

Gunung Kidul yang wilayahnya sangat kering kerap kekurangan air, tapi di bawah tanah kaya akan air. Ada beberapa sungai yang mengalir di bawah tanah, di kedalaman 100 meter, sungai bawah tanah Bribin salah satunya.

Sejak tahun 2000 Tim pengeboran bekerja sama dengan BATAN melakukan studi untuk mencari titik yang tepat untuk melakukan pengeboran, dan kemudian memompa air di dalam tanah untuk memenuhi kebutuhan 79.000 jiwa tiga kecamatan di gunung kidul. Dalam proses pencarian itu, di sanalah teknologi nuklir digunakan.

"Radio isotope dilepas pada air sungai, dari situ dapat diketahui berapa debit air dan volumenya, apabila memenuhi kriteria akan dilakukan pengeboran," kata Andre, salah seorang koordinator pengelola micro hydro di Bribin. Namun tak perlu khawatir, radio isotop yang dialirkan hanya dalam skala kecil. Dan akan hilang hanya dalam 8 jam. Sama sekali tak mencemari lingkungan. 

Mulai 2004, pengeboran dilakukan. Bekerja sama dengan BATAN, Pemda DIY, dan peneliti asal Jerman, penanaman modul (seperangkat alat yang terdiri dari turbin, gearbox, dan pompa) pada kedalaman 105 meter dikerjakan dan selesai pada 2010. Dengan modul tersebut, air dapat ditarik ke atas permukaan tanah dengan debit 20 liter per detik.

Ramadhan Aditya - Okezone 
Repost by Kang Wirya

Posted By RAMA WIRYA21.22

Rabu, 13 November 2013

Jerami Sebagai Media Penyerap Limbah

Filled under:

Jerami sebagai bahan baku kertas
Mendengar nama jerami disebut, ingatan kita akan tertuju kepada limbah pertanian padi dari sawah maupun ladang. Jerami ini dengan jumlah tertentu masih dapat dimanfatkan untuk makanan ternak baik langsung atau terlebih dahulu dibuat silase. Selain itu masih dapat digunakan untuk; membuat media tumbuh jamur merang, media ternak belut, pembuatan atap gudang/kandang, alas tidur kandang itik gembala, bahan kerajinan tangan, membuat pupuk dan lain-lain. Namun kalau jumlahnya terlalu banyak, pengelolaannya menjadi sulit. Cara mengatasi pada umumnya dengan jalan pintas, para petani biasanya membakarnya langsung di tempat. Ini tidak ramah lingkungan, karena selain asapnya mengganggu, manfaatnya juga tidak signifikan.

Peneliti dari Fakultas Teknik di Universitas Katolik Widya Mandala (WM) Surabaya, Felycia Edi Soetaredjo Ph.D, melihat manfaatnya dari sudut lain. Ia menemukan kalau jerami dapat dimanfaatkan sebagai sarana alternatif penyerap limbah logam berat pada industri.

"Jerami terlebih dahulu dijadikan bubur, lalu bubur jerami itu dijadikan batch-batch yang diwadahi dalam tangki, kemudian tangki itu dijadikan bagian dari instalasi pembuangan limbah", kata dosen Jurusan Teknik Kimia FT WM itu kepada ANTARA di Surabaya, Sabtu (21/9/2013). Dosen mata kuliah technopreneurship itu menjelaskan, limbah cair dari industri akan melalui "biosorbent" (penyerap dari biomassa) dengan media jerami sebelum dilepas ke sungai atau laut, sehingga sungai atau laut tidak tercemar limbah industri yang umumnya mengandung logam berat.
 
Jerami dapat digunakan juga sebagai absorbent
"Penelitian ini masih tahap pertama, sehingga kami belum menghitung persentase dari limbah yang dapat diserap oleh biosorbent yang terbuat dari jerami itu, tetapi ikan gatul atau enceng gondok di sekitar pabrik yang biasanya mati kini bisa tetap hidup", katanya.

Penerima "research grant" dari International Foundation of Sciences (IFS) Swedia itu yakin, pencemaran logam berat seperti Pb (timbal) dari industri yang biasanya parah dapat "dikunci" dalam "biosorbent" dari jerami itu.

"Limbah industri biasanya mengandung 12 jenis logam berat, tetapi dengan `biosorbent` dari jerami itu akhirnya dapat berkurang semuanya, jadi fungsinya seperti saringan", kata peraih Doktor dari salah satu universitas di Thailand tersebut. Ia mengaku, penelitian itu bermula dari keprihatinannya terhadap anak sahabatnya yang mengalami keterbelakangan mental akibat limbah mercuri yang dihasilkan oleh industri di lingkungan rumahnya, dimana banyak masyarakat sekitar industri yang mengonsumsi hasil alam yang terkontaminasi limbah. 

"Indonesia sebagai negara agraris menghasilkan banyak limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai biomassa, salah satunya adalah jerami yang dihasilkan dari limbah tanaman padi. Saya tertarik meneliti demi penyelamatan lingkungan", kata alumnus jurusan teknik kimia WM angkatan tahun 1995 itu (ANTARA News, 21/9/2013). 

Satu lagi manfaat jerami kita ketahui, tentunya masih banyak manfaat lain yang belum terungkap. Dari pada jerami dibuang-buang sayang, yoo kita manfaatkan limbah pertanian ini dengan cara yang lebih bijak, barang kali dapat digunakan untuk mengganti bahan bakar minyak yang cadangannya semakin menipis dan harganya naik terus. 

Doc by Bio

Posted By RAMA WIRYA05.50

Reklamasi Lahan Kritis Cimalaka

Filled under:

“Gajah di pelupuk mata tak nampak, kuman di seberang laut nampak jelas”, peribahasa ini mengumpamakan kesalahan diri sendiri yang besar dan dekat tak kelihatan, sedangkan kejelekan orang lain walau sedikit dan jauh tampak jelas. Hampir semua orang mafhum dengan arti peribahasa ini. Yang ingin penulis sampaikan bukan tentang arti jelek dari peribahasa itu, melainkan kondisi dan situasi sebaliknya; yaitu adanya kegiatan studi banding pejabat Sumedang ke Belitung Timur dengan harapan mendapat solusi tepat cara mereklamasi lahan kritis di wilayah Sumedang, padahal di Sumedang sendiri mempunyai tokoh yang berpengalaman dalam hal ini. Sedangkan studi banding ke Belitung Timur itu dilakukan beramai-ramai oleh 60 pejabat Kabupaten Sumedang sehingga menjadi bahan tertawaan. 

Permasalahan Lahan Kritis

Maksud pejabat Kabupaten Sumedang melakukan studi banding ke Belitung Timur, kemungkinan karena di sana dianggap telah berhasil mereklamasi lahan kritis bekas tambang timah. Namun karena informasi yang didapat sebelumnya oleh para pejabat penentu kebijakan ini rupanya tidak nyambung dengan program, memori, dokumen dan kenyataan tentang pelaksanaan reklamasi lahan yang telah dilakukan di lapangan oleh pejabat pemda sebelumnya dan warga Sumedang sendiri. Informasi sepotong-sepotong atau malasnya menggali informasi tentang potensi dan kemampuan yang ada, menyebabkan pejabat daerah mengambil keputusan instan yang dianggap lebih praktis, yaitu studi banding ke daerah lain. Selain itu ada rasa gengsi kalau harus meneruskan program pejabat lama apalagi harus minta pendapat kepada pakar lingkungan yang ada di Sumedang. Sebenarnya sejak tahun 1987 sudah ada usaha reklamasi mandiri oleh sebagian warga Cimalaka. Bahkan orang Belitung sendiri jauh-jauh datang ke Sumedang untuk belajar reklamasi lahan kritis.

Ilustrasi : Penggalian Sirtu dan Hasil Reklamasi
Di wilayah Sumedang terdapat lebih dari 300 hektare hamparan lahan kritis dan gersang akibat galian pasir (galian tipe C) yang harus dikelola dengan tepat agar mempunyai nilai tambah dan tidak menjadi bencana lingkungan yang merugikan.

Di kawasan Cimalaka, di kaki gunung Tampomas, dari luas penambangan pasir sekitar 250 hektare, hampir 215 hektare bukit yang dulu hijau telah menjadi cekungan raksasa dan hamparan batu kerikil. Tanah menjadi gersang, debu berterbangan, udara terasa panas menyengat di lokasi padang pasir bekas galian begitu masuk Desa Cibeureum Kulon. Kecuali di blok Ciseureuh, Kampung Tarikolot, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka suasananya sedikit sejuk. Kawasan seluas 20 hektare milik Uha Juheri (67) dan kawan-kawannya ini bagaikan oase di tengah padang pasir dan menjadi laboraturium alam yang dikelola sejak 26 tahun lalu. Walau kondisi terakhir lahan penghijauan juga sudah menyusut separohnya kembali menjadi kurang-lebih 10 hektare, karena para pengusaha pasir menggali lagi kawasan hijau ini. Bagaikan peribahasa panas setahun hapus oleh hujan sehari.

Hal ini dapat terjadi selain karena areal tambang pasir itu menguntungkan bagi pengusaha, juga akibat tidak konsistenya Pemerintah Daerah Sumedang dalam menegakan peraturan, bahkan usaha meningkatkan areal reklamasi. Kemungkinan lupa program lama, tidak menguasai persoalan, kurang kordinatif, atau terjangkit penyakit mental masa bodoh. Program kegiatan tidak nyambung. Artinya lebih memprioritaskan hal-hal instan yang lebih menguntungkan dalam jangka pendek dan membiarkan program jangka panjang berjalan sendiri tanpa pemeliharaan dan pengawasan.

Setiap hari tak kurang dari 500-1.000 truk berlalu-lalang mengangkut pasokan pasir tras untuk keperluan proyek-proyek besar perumahan dan bangunan lainnya di wilayah Sumedang khususnya dan Jawa Barat pada umumnya. Pasir Cimalaka memang terkenal berkualitas bagus untuk membuat pelester tembok dan beton, karena selain daya rekatnya kuat, mempermudah pekerjaan, juga irit semen. Kontribusi ini pasti tak akan terlupakan bagi orang-orang kota yang ber-uang, karena di rumahnya ada memori ‘tembok rumah kami menggunakan pasir tras Cimalaka yang berkualitas’. Bagi pengusaha galian C,  material pasir tras ini menjadi sumber uang untuk mengisi pundi-pundinya. Namun masalah kelestarian lingkungan apakah mereka peduli? Kecuali ada bencana yang mengancam bisnisnya, sudah dipastikan mereka berteriak paling kencang. Yang ada di benak mereka hanyalah agar : usahanya lancar, mudah dikerjakan dan mendatangkan banyak uang. Soal perizinan dapat ditembus dengan uang, walau bagaimanapun ribetnya.

Usaha memperbaiki lahan kritis agar kembali hijau sebagai penyangga lingkungan ditempuh dengan cara reklamasi, selanjutnya menanami lahan tersebut dengan tumbuhan produktif yang paling cocok dengan karakter tanah baru. Pilihan tanaman harus dapat dipadukan dengan tanaman jenis lain yang menguntungkan, misalnya untuk pakan ternak. Adapun penampungan air hujan atau air gunung  dibuatkan embung atau kolam-kolam yang juga dapat digunakan untuk ternak ikan.

Kondisi tanah berpasir tras dipandang masih cukup bagus karena tidak porus, sehingga untuk dasar embung atau kolam tidak banyak menggunakan padatan semen atau tidak perlu plastik. Jadi dibandingkan dengan tanah kapur di daerah Gunung Kidul yang porus dan sulit menampung air hujan. Apabila akan membuat embung atau kolam, dasar kolam harus dilapisi dulu dengan plastik kedap air atau laburan semen agar air tidak lari. Di Cimalaka tidak separah itu.

Untuk memberikan gambaran teknis, saya kutip beberapa rilis tulisan dari beberapa mass media yang masih up to date dan relevan dengan persoalan yang dihadapi pemda Sumedang.

Tanggapan Tokoh Pelestari Lingkungan Hidup

Ki Uha Juhari (67) warga Kampung Cibeureum RT 01/RW 02, Desa Cibeureum Wetan, Kec. Cimalaka, tokoh pelestari lingkungan hidup Kab. Sumedang, mengharapkan agar Bupati Sumedang H. Endang Sukandar membebaskan semua lahan bekas galian C sirtu (pasir batu) di kaki Gunung Tampomas. Setelah semua bekas galian C dibebaskan, Ki Uha dan masyarakat dengan sukarela akan mereklamasi dan menghijaukan kembali lahan bekas galian tersebut.

“Sepanjang lahan galiannya masih milik pengusaha, sampai kapan pun tidak akan pernah dapat direklamasi. Selama itu pula, kerusakan lingkungan akibat galian C di kaki Gunung Tampomas akan terus terjadi,” kata Ki Uha ketika ditemui di rumahnya (Rabu, 30/10/2013, PRLM).

Ia mengatakan, ketika lahan bekas galian sudah dibebaskan, masyarakat di bawah naungan Kelompok Tani dan Ternak “Simpay Tampomas” yang diketuainya, diberikan keleluasaan mengelola dan menghijaukan kembali tanah gersang itu dengan usaha pertanian dan peternakan.
Ia bersama kelompoknya, kini tengah bertani buah naga dan ternak kambing perah di lokasi bekas galian pasir di Blok Ciseureuh Kampung Golempang Desa Cibeureum Wetan, Kec. Cimalaka.

“Tenaga saya masih kuat dan otak saya masih pintar untuk mengelola dan menghijaukan kembali bekas galian. Meski usia saya sudah lanjut, tapi jiwa saya tetap ingin terus berjuang melestarikan alam dan lingkungan di kaki Gunung Tampomas ini. Saya masih sanggup mereklamasi sekaligus menghijaukan kembali lahan kritis dan gersang bekas galian pasir,” ujar peraih penghargaan “Perintis Lingkungan” dari Gubernur Jabar tahun 2000 lalu itu.

Uha Juhari, memang berhasil mereklamasi lahan tersebut.
Alih-alih belajar ke Pak Uha - begitu bapak beranak lima ini disapa - Pemkab Sumedang malah belajar reklamasi ke Belitung yang biayanya lebih mahal. Lucunya, Uha justru pernah didatangi seseorang dari Belitung yang hendak belajar reklamasi.
"Bodor kalau begitu. Nu kitu teh teu awas ka awak sorangan," kata Uha sambil terkekeh ketika ditemui di rumahnya.
Uha menuturkan, seseorang yang pernah datang itu mengatasnamakan pegawai dari Belitung yang akan mereklamasi bekas galian timah.
"Saya ingat dulu pernah ada orang yang akan reklamasi di Belitung, karena ada lahan galian timah di sana, dia tanya-tanya sangat detail sekali", kata Uha.

Uha memang tidak tahu jika 60 pejabat Pemkab ramai-ramai berkunjung ke Belitung Timur untuk belajar reklamasi. Dia pun sebenarnya tidak keberatan jika diminta untuk menularkan pengalaman dan ilmunya dalam melakukan penghijauan di lahan bekas galian.
"Bapak pasti mau kalau diminta. Tapi kalau menyarankan ke Pemkab enggak. Bapak sekadar mengajak dan menyarankan ke warga setempat saja yang memang sudah merasakan dampak dari kerusakan lahan ini," kata Uha.
Uha sudah melakukan reklamasi sejak 1987 sepulangnya dari transmigrasi. Saat itu kata 'reklamasi' belum dia kenal. Namun, dia bertekad untuk menghijaukan kembali lahan kampung halamannya yang ternyata sudah sangat rusak.

Hingga kini Uha sudah mereklamasi 20 hekatare lahan bekas Galian C. Sebanyak 5 hektare di antaranya adalah lahan pribadi, sedangkan sisanya lahan milik orang lain yang sudah mempercayakan pengelolaannya kepada Uha.

Sementara dari seluruh luas lahan yang berhasil dihijaukan, sekitar 10 hektare telah kembali digali ulang oleh para pengusaha galian.
"Lahan yang sudah bapak hijaukan ini sudah dibeli lagi oleh pengusaha galian, jadi selama ini, yang melakukan reklamasi di lahan galian ini ya bapak, bukan pemerintah," kata Uha. Ia mengaku bingung terhadap sikap pemerintah yang telah membiarkan pihak pengusaha galian C kembali melakukan kegiatan penambangan pasir di sebelah Barat lahan percontohan hasil reklamasi.

Mengubah Lahan Kritis Menjadi Subur

Mengembalikan keadaan lahan kritis yang sudah menyerupai gurun menjadi daerah yang hijau dan tingkat kesuburan tanah yang terlanjur tandus agar menjadi subur bukanlah pekerjaan ringan.
Sumber mata air yang masih tersisa mesti dipertahankan atau mencari dari sumber lain yang letaknya lebih jauh. Karena logikanya, sekeras apapun usaha reklamasi tanpa pasokan air, niscaya semua tumbuhan akan mati kekeringan.

Tanaman Gamal (Gliricidia Sepium), Wreside, Dadap Ingris atau Cebreng menjadi pilihan karena dapat dijadikan makanan ternak. Disela-sela tanaman ini dapat ditanami tumpang sari seperti: sengon, jati, petai, avokad, dan beberapa jenis tanaman produktip lainnya.
Ilustrasi: Penghijauan sistem tumpang sari tanaman Gamal dan Sengon
Di Cimalaka telah dibentuk Kelompok Simpay Tampomas. Dan untuk memudahkan pertemuan dengan petani lainnya yang tergabung, dibangun balai pertemuan sesuai kemampuan. Berkat kerja keras yang tak kenal lelah selama bertahun-tahun, kini lahan sudah tidak segersang dulu lagi.

Uha, petani sederhana dengan cita-cita luhur berhasil mengajak dan menggerakkan petani lainnya sehingga keadaan lahan serupa milik Uha sekarang ini dapat kita jumpai pada lahan milik petani-petani lainnya yang menjadi anggota Kelompok Simpay Tampomas.

Wilayah kampung tersebut juga dijadikan proyek percontohan rehabilitasi lahan kritis, bahkan kelompok tani ini memperoleh fasilitas dan pendampingan teknis serta kelembagaan dari petugas yang menangani rehabilitasi hutan dan lahan (itu dulu saat baru-barunya Uha memperoleh penghargaan dari Gubernur; sekarang?).

Budidaya Buah Naga di Lahan Kritis

Lahan hijau seluas kurang-lebih 10 hektare di kaki Gunung Tampomas bagian selatan bagaikan noktah kecil di hamparan sekitar 300 hektare lahan gersang tambang pasir batu.

Di blok Ciseureuh, Kampung Tarikolot, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka suasana terlihat hijau dengan pohon-pohon Gamal atau Cebreng tumbuh subur. Di lahan ini juga terdapat populasi ratusan ekor kambing.

Ternak Kambing Lokal Sistem Sel
Di kawasan hijau ini memang sudah tersedia bangunan pertemuan, mushola dan kandang kambing. Perjuangan Uha dan kawan-kawan membuahkan hasil, selaian kawasan menjadi hijau juga sudah ribuan orang datang dari pelosok negeri dan luar negeri untuk belajar mengelola alam yang hancur akibat ulah manusia.

Tawaran agar menanam buah naga dari investor datang. “Dulu Saya kaget ditawari tanaman yang namanya asing oleh orang yang baru dikenal. Saya mau mencoba saja karena mendengar keuntungan dan prospeknya bagus,” kata Uha.

Pada bulan Pebruari 2006 perjanjian dibuat dan ditanamlah 180 bibit buah naga yang didapat dari sang investor dengan harga Rp 250 ribu/bibit. “Ternyata harga bibitnya mahal. Bahkan cara menanamnya juga aneh, ukuran bibitnya sepanjang 30 cm yang harus ditanam dengan penyangga sebuah tembok beton,” katanya.

Harga mahal sangatlah wajar, karena selain bibitnya yang masih sangat langka dan pohon ini berumur panjang hingga puluhan tahun serta berproduksi atau panen setiap tahunnya. Pohon buah naga yang termasuk jenis kaktus ini juga mudah dikembangbiakkan dengan memotong tunas dan ditanam seperti awal.
Ilustrasi : Kebun Buah Naga
Buah naga mempunyai musim panen yang sudah tetap, yaitu sekitar bulan Desember. Dua bulan sebelumnya, buah naga akan berbunga, berbuah lalu panen raya pada tiga bulan setelah berbunga. “Sekarang sedang berbunga, sebagian ada yang berbuah, sebentar lagi panen besar,” kata Uha.

Panen tahun ke tiga setelah tanam, disebut sebagai panen kedua atau panen raya. Panen pertama terjadi di tahun kedua tanam, namun panen ini tidak berproduksi banyak. Hitung-hitungan untung pun belum dapat tercapai bahkan masih belum bisa menutupi biaya produksi.

Perhitungan dari tiga hektare lahan, panen dapat mencapai12 ton. Satu pohon dapat menghasilkan 3,4 kg buah naga. Buah naga itu dijual untuk konsumsi pasar lokal dan luar kota. Harga buah naga biasanya akan naik apabila permintaan banyak baik dari pasar lokal maupun luar kota.

Pohon ini mudah tumbuh dimana saja dan tidak mengenal musim tanam, kemarau atau hujan. Bahkan ditanah tandus, kering, dan rusak pun bisa tumbuh subur, seperti di lahan kritis bekas galian. Tanaman ini sejenis kaktus yang tidak terlalu membutuhkan air dan kuat ditanah tandus.

Sayangnya, masih banyak lahan bekas galian pasir dibiarkan terlantar tanpa tanaman dan tandus tanpa reklamasi. Padahal warga siap mengelola lahan itu menjadi hijau.

Sekarang kembali kepada pemerintah daerah termasuk jajaran dinasnya bagaimana dapat mengoptimalkan potensi daya daerah yang tersedia; SDM yang pandai ada, yang berpengalaman teknis dalam bidang reklamasi lahan kritis punya, dana dapat dicari atau disisihkan dari APBD, pasti rakyat setuju. Tinggal Master Plannya disiapkan secara konpreheship, buatkan petunjuk teknis yang aplikatip, sosialisasikan dengan baik, dan jangan lupa minta dukungan semua lembaga dan elemen yang ada di Sumedang. Saat ini Sumedang terkenal sebagai daerah yang makmur sejahtera, berbudaya dan nyaman. Jangan sampai karena mengejar target, kelestarian lingkungan hidup diabaikan, berakibat bencana besar terjadi, sehingga Sumedang berbalik menjadi daerah memelas tempat mengulurkan bantuan belas kasihan.

Nauzubillahhiminzhalik.

By Kang Wirya

Posted By RAMA WIRYA05.20